20 April 2013, aku melihat sebuah
bendera berwarna kuning di depan gang nomor 2 di dusunku. Bendera itu
mengingatkan aku kepada laki-laki hitam manis seusiaku. Ia adalah sepupuku.
Rasa sayangku kepadanya tak bisa dipisahkan meski secara kenyataan ajal telah
memisahkan kami.
Pukul 02.30 Sore, waktu yang tak
terduga dan penuh rasa tak terima bagiku dan keluarga besarku. Kak Zhura,
laki-laki hitam manis seusiaku ini adalah sepupu tersayangku. Dari kami kecil
hingga remaja, wherever we go, always
together .
Tanggal itu dan setelahnya merupakan
cobaan terberat bagi keluargaku dan perderitaan terakhir sepupuku. Rasa tak
percaya selalu menyelimuti hari-hariku di sekolah. Hanya diam, diam, dan diam
yang bisa ku lakukan. Berangkat sekolah hampir bertabrakan dengan motor di
depanku, datang ke sekolah terlambat, cerita temanku tak ku dengar, penjelasan
guru tak ku perhatikan, semua pikiranku hanya tertuju pada sepupuku, Zhura. Aku
dan Zhura bagaikan es dan suhunya. Dimana ada es, disitu ada dingin. Meskipun
sebenarnya kodrat kami berbeda, namun dari semua barang yang kami miliki hanya
sedikit yang berbeda. Kami sudah seperti anak kembar. Kemana-mana memakai
pakaian dan membawa barang yang sama.
Tanggal 12 Juli 2011 tanggal 02.00 aku
pulang dari sekolah, badanku terasa lemas tak berdaya. Segera kuletakkan sepeda
anginku dan masuk ke dalam kamar, ganti baju, kemudian tidur. Ibu menghampiriku di ranjang,
beliau ikut tidur bersamaku. Kulihat jam dindingku menunjukkan pukul 02.55
Sore, mataku masih terasa berat untuk dibuka. Tiba-tiba HP ku berdering.
Kriiing...... Kriiiinggg...
Bunyi suara Hp-ku yang menandakan adanya panggilan
masuk, ternyata dari Om Safi, ku terima panggilan itu.
“Halo, Assalamu’alaikum”
“Halo, Wa’alaikumsalam.. Mamamu
mana?!!”
Suara di seberang terkesan panik,
spontan aku memberikan HP kepada mamaku.
“Iya.. ada apa?” Tanya mamaku kepada orang di
seberang.
“Mbak!, Zhura, mbak!”
“Kenapa zhura?” tanya mamaku kaget,
dan aku pun langsung menatap mamaku.
“Zhura.. ditembak”
Aku kaget namun masih tenang,
karena aku tidak tau bagian mana yang tertembak.
“Apanya yang ditembak?” Lanjut
mamaku
“Pelipis kiri di kepalanya”
“Siapa yang menembak??!! Kurang
ajar sekali dia!”
Tiba-tiba telfon seberang ditutup. Telingaku
terasa pecah ketika mendengar suara bagaikan petir yang menyambar seisi bumi
seperti itu, jantung ku berdegup kencang, fikiranku terbang melayang tak
berarah, bayangan negatif menyumbat sel-sel otakku, air mataku berlinang dan
hampir menetes, seakan-akan aku yang merasakan perkara itu. Tak henti-hentinya
aku berdo’a supaya Zhura diberi kekuatan oleh Tuhan, ibuku sibuk menelfon semua
saudara, terutama pamanku, om Safi. Beberapa menit kemudian HP berdering
kembali dan segera diterima oleh ibuku.
“Puskesmas nggak
sanggup menangani Zhura! Sekarang ada di UGD RSUD. Kata dokter, operasi akan
dilaksanakan nanti jam 9 malam. Mas Doni suruh kemari! Cepat!”.
“Mas Doni sudah berangkat, sekarang
masih diperjalanan”. Ucap ibuku
~
~ ~
Adzan maghrib telah berkumandang.
Segera aku berwudhu dan mengikuti sholat jama’ah di musholah. Ketika wirid, saudara
ku memutuskan kekhusyukanku dan bertanya tentang keadaan Zhura. Ku bilang dia
sedang kritis di RSUD. Wajah sedihnya
nampak jelas di hadapanku, mungkin ia juga merasakan dag dig dugnya hatiku.
Setelah sholat selesai, aku pulang dan segera masuk ke kamar. Kamarku terasa
hening, sunyi, sepi, tak ada yang indah, semuanya nampak seperti TV jadul,
hitam putih, hingga akhirnya ku ambil al-qur’an dan melantunkannya untuk
kesembuhan saudaraku, Zhura. Di tengah-tengah bacaan ayat-ayat suciku, tiba-tiba
HP berdering, ku hentikan suaraku dan beralih ke Handphoneku.
“Om dika”
“Iya.. Mana mamamu?”
“Sebentar om..”
Aku berlari menuju kamar mama, dengan keadaan
memakai mukenah.
“Ma... Om dika telfon”
Tanpa melihatku, mama langsung mengambil HP dari
genggamanku.
“Iya.. Bagaimana keadaan Zhura?”
“Semakin kritis, Tangan
dan kakinya diikat supaya tidak kejang-kejang. Otaknya sudah parah mbak. Tak
ada 30%, kemungkinan operasi bisa menyelamatkannya.”
“Astaghfirullah... Tapi jadi
dilakukan kan?”
“Pasti jadi, mohon
do’anya yang banyak mbak. Kasihan mbak neda, cuman bisa nangis..”
“Qila juga nangis terus
dik, dari tadi nggak lepas mukenah, nggak mau keluar kamar, baca al-qur’an
sambil nangis. Sekarang siapa saja yang di Rumah Sakit?”
“Mbak
Neda, Aku, Mas Safi, Mbak Jahra, Falad, Oktaf, Mas Doni, Mas Ruli, dan
tetangga-tetangga ada yang ikut mbak..” kata om ku.
Sengaja
aku mendengar suara telfon yang di perkeras suaranya itu. Di balik pintu kamar
ibuku, perlahan ku teteskan air mata beningku. Aku tak kuat mendengar semuanya.
Dia saudaraku, kemana-mana bersama, sekolah bersama, model baju sama, hampir
semuanya sama. Tapi sekarang, hidupnya terancam. Dokter memvonis kemungkinan
hidupnya hanya 30%. Tanpa mengusap air mata, aku berlari dan masuk ke kamarku.
Ku lafadzkan istighotsah dan ayat-ayat suci yang ku bisa. Ku memohon kepada
Tuhan supaya membebaskan kakakku dari penderitaannya.
“Ya Allah, jika Engkau masih
mengizinkan nafasnya berhembus, berikan ia kekuatan untuk memerangi rasa
sakitnya, jangan biarkan ia kesakitan sendiri. Jika Engkau masih memberi usia untuknya,
bangunkan ia untuk beribadah kepadaMu dan izinkanlah ia bersujud diatas sajadah
suciMu. Hamba belum sanggup menerima ini, hamba masih butuh dia, hanya dia
satu-satunya saudara yang mengerti hamba, Engkau yang mengizinkan kami selalu
bersama, Engkau yang mentakdirkan kami bersaudara. Gelap terang luas sempit
kami lalui bersama, bahagia dan sedih kami hadapi berdua. Ya Allah, jikalau
takdirMu tak sesuai hati hamba, berikan hamba kekuatan untuk menerima dan
mengikhlaskannya kembali kepadaMu”
Jarum
jam sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB, dag dig dug hatiku sudah menunggu
saat-saat menenganggkan. Tak henti-hentinya bibirku beristighfar, berharap
Tuhan dapat mengampuni semua dosa-dosaku dan keluargaku dan melancarkan operasi
yang 1 jam lagi akan dilakukan. Rupanya syaraf kakakku belum bisa tenang,
tubuhnya yang diikat kain tak berhenti merasakan kesakitan dan kejang-kejang.
Hatiku semakin berdegup kencang.
Teng Teng Teng. . . . . . .
Alarmku berbunyi, cepat-cepat aku
melihat ke arah jam dinding.
“Jam 21.00 !!! “ teriakku di dalam
kamar
Kriiiiinggg..... Kriiiingg....
Seketika itu HP yang sejak tadi
terletak di atas meja belajarku berdering, dan aku mengambilnya Ku baca
layarnya.
“Om dika ~`Flexi”
Spontan aku berlari ke kamar
mamaku, tapi apa yang aku lihat? Kamarnya kosong, tanpa pikir panjang aku
berlari ke dapur, tapi tak ada orang.
“Kemana mama?”
Dengan perasaan takut dengan berita
yang akan aku dengar dari Om Dika, ku beranikan diri dan ku mantapkan hatiku
untuk mengangkat telfon dari Om Dika. Perlahan, ku pencet tombol terima telfon.
“Iya Om...”
“Ini mama. Do’akan
kakakmu. Dia kejang-kejang. Sekarang dibawa ke ruang operasi”
“Ma... ma... mama kapan ke sana?
Kenapa Qila nggak diajak?”
“Mama tahu perasaanmu.
Di sini juga tegang, kalau mama ngajak kamu, bisa-bisa nanti kamu pingsan.
Jangan lupa, masak mie buat adikmu. dia belum makan”
“I...iya.. ma...”
Setelah telfon ditutup, kakiku
melangkah menuju dapur kemudian memasak mie kuah untuk adikku. Ku hidangkan mie
dengan telur kocok, aromanya yang harum bisa sedikit menenangkan hatiku.
Istighfar masih belum berhenti dari bibirku. Ku biarkan semangkuk mie itu
tergeletak di atas meja makan dan aku pergi ke kamar.
Di kamar, ku baringkan tubuh
mungilku diatas tempat tidur. Ku pandangi fotoku bersama Zhura. Ku pegang erat
sepasang liontin berbentuk ikan dari Zhura. Bibirku terus mengucapkan do’a-do’a.
~ ~ ~
Teng... Teng.... Teengg...
Ku lihat jam dindingku dengan wajah
kusam dan masih mengantuk.
“Hah!! Jam 06.15!!!!”
Refleks, aku meloncat dari tempat
tidur dan membanting pintu kamarku. Aku bergegas masuk kamar mandi. Setelah
mandi dan mengganti baju dengan seragam sekolah, tanpa sarapan aku mengeluarkan
sepeda anginku dari garasi kemudian mengunci semua rumah dan melajukannya
dengan kecepatan tinggi, aksiku memang bisa dibilang kisruh, tapi mau bagaimana lagi? Ini sudah jam 06.45 WIB, 15 menit
lagi gerbang sekolah sudah dikunci.
Ternyata pelajaran agama islam
belum dimulai. Lega rasanya ketika sudah masuk kelas sebelum guru datang. Ku
lihat wajah teman-temanku nampak tegang dan gelisah.
“Ada apa Lan? Kok tegang gitu?”
“Sekarang waktunya praktek sholat
dhuha”
“Praktek aja kan? Tapi kok tegang?”
“Prakteknya di musholah”
“Yaiyalah, namanya juga praktek
sholat. Pasti dimusholah”.
“Masalahnya, kelas kita digabung
sama kelas VIII – 6!”
“Terus?”
“Kita sama kelas VIII-6
kan nggak pernah akur! Qillaaaaaa!!” Lani jengkel dan berteriak tepat
ditelingaku.
“Hahahahaha... biasa
dong Lan!” Aku tertawa melihat wajah jengkel Lani.
“Nggak bisa!”
“Jalani aja.. nurut aja
sama guru”
“Ceramah aja bisanya!”
sahut Zammu, cowok favorit dikelasku.
“Mulut mulut gue!
Masalah buat lo?”
“Iya!”
“Apa masalahnya?!”
“Masalahnya gue nggak
suka denger lo ceramah!”
“Kalau nggak suka ya
jangan didengerin!”
“Tapi kedengeran,
bego’!”
“Emang lo pinter?
Ngatain gue bego’?!”
“Iya.. Emang gue
pinter”
“Udaaah... Udaaaahh...
Jangan berantem! Kayak anak TeKa aja kalian! Pergi sana Zam!” Lerai Lani dengan
sedikit senyum kepada Zammu.
“Hiddiiiih.. Pergi sana
Zam?.. Sok manis lo, Lan! Bocah kayak begini nggak pantas dimanis-manisin!” Aku
pergi meninggalkan kelas. Wajahku semakin geram dan jengkel dengan sikap Lani
yang sok manis kepada Zammu.
Untuk menenangkan hati yang sempat terbakar karena ulah
Zammu dan Lani, ku putuskan untuk pergi ke kantin. Suasana yang sepi dan teduh
membuatku lebih tenang. Ku lihat jalan lurus berkeramik yang mengarah ke
kelasku, nampaknya pak Andi sudah masuk kelas. Tapi aku masih ingin disini. Tak
lama kemudian, pak Andi dan teman-temanku keluar dari kelas, disambung dengan
anak kelas VIII-6.
“Wah kayak nya bakalan
seru nih!” kataku pelan
Sejak
kelas VII kelasku dengan kelas VIII-6 memang tak pernah akur. Hal itu
disebabkan karena banyaknya teman-temanku yang punya mantan pacar di kelas VIII-6. Sepele banget kan?. Aku segera
berdiri dan berlari menuju musholah. Ternyata bukan aku yang datang paling
awal. Ada Ceval anak kelas VIII-6. Manusia paling menyebalkan nomor 2 setelah
Zammu. Di musholah hanya ada 2 anak, Aku dan Ceval. Kami saling diam tak menyapa.
Pada saat itu juga teman-teman kami datang.
“Kamu
bawa buku apa Lan?” tanya ku kepada lani
“Buku
tuntunan sholat, buku tulis, sama LKS PAI”
“owalah...”
Dengan wajah heran sambil melihat
tangan dan sisi kanan kiriku, Lani
bertanya.
“ Lha bukumu mana Qil?”
“hmm... Aku kesini
nggak bawa apa-apa karena tadi aku habis dari kantin” ku tampakkan wajahku yang
seperti manusia tak berdosa.
“Gimana sih? Sekarang
penilaian LKS loh Qil!!”
“iyakah? Aku nggak bawa
Lan. LKSku di rumah. Gimana dong?”
“Pulang sana.. Ambil
cepetan!”
“Nggak pa pa kah?”
“Izin pak Andi, terus
ke BK, terus ke Bang Seno”
“Anterin.. J”
“hadeeeeeh...... Yok!”
Aku
dan Lani bergegas meminta izin ke para dewan bagian perizinan dan pulang
mengambil LKS PAI ku. Sesampai dirumah, ternyata mama sudah lebih dulu di
rumah. Mamaku sedang masak.
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam. Kok udah pulang?”
“Ngambil LKS. Gimana
mas Zhura?”
“Peluru di kepalanya
pecah menjadi 3”
“Kok bisa? Terus?”
“Baru 1 yang bisa
diambil, rencana mau dirujuk ke Singapura”
“Kapan?”
“Ndak tau”
“Papa mana?”
“Papa masih disana,
nggak mau pulang”
“Qilla mau kesana
maaaaa.....” aku merengek, kristal di kelopak mataku mulai nampak
“Ndak boleh dokter”
“Kok bisa?”
“Yang jaga maksimal 5
orang. Penjenguk ndak boleh dekat-dekat dengan kamar”
“emmm... L”
Setelah selesai, aku keluar rumah dengan wajah murung.
“Kenapa Qil?”
“Mas Zhura, Lan...”
“Zhurafa Senordi Angge
alumni SD Yomana 80 itu?”
“Iya”
“Dia mas mu?”
“Iya..”
“Kenapa dia?”
“Ceritanya panjang”
“Ntar di sekolah ceritain
ya Qil?”
“Sip... Yok cabut!”
Aku dan Lani segera mengeyuh sepeda bermerek Wimcycle itu dengan sekuat tenaga dan
sekencang-kencangnya. Sesampai di sekolah, ku lihat jam tanganku, 25 menit lagi
jam pelajaran PAI akan usai. Lagi-lagi aku dan Lani harus berlari dari tempat
parkir ke musholah. Ketika samapai kami langsung disuruh praktek sholat dhuha,
alhamdulillah aku bisa karena aku sering melakukannya di rumah.
~~~
Tilulit... Tilulit... Tilulit....
Bel listrik sekolah sudah berbunyi menandakan kegiatan belajar mengajar di sekolah telah usai. Aku
segera pulang dengan sepeda kayuhku itu. Saat tiba di rumah ku lihat
adik-adikku sedang asyik menonton televisi sambil makan snack. Aku segera masuk
kamar dan mengganti seragamku dengan baju rumah.
“Kak Qilla...!!” teriak adikku
“Apa dekk???”
“Sini cepetan”
“Ngapain sih?”
“Ini loh. Uleg-in
sambelku”
“haddeeewww... kirain ngapain”
“Uleg sendiri!”
“Nggak bisa!”
“Belajar!” teriakku
Aku langsung masuk kamar dan mencari novel
favoritku. Tiba-tiba Hp-ku berdering. Tanpa pikir panjang dan membaca nama
pemanggil aku langsung memencet tombol terima telfon.
“Mbak Fima... Zhura
nggak jadi dibawa ke Singapura”
“Hah?” ku lihat nama
pemanggil. Ternyata Om Safi.
Langsung saja aku berlari mencari mama
“Iya..
ada apa?” tanya mamaku
“Zhura
nggak jadi ke singapura”
“Kenapa?
Bukannya lebih baik”
“Dia
semakin drop”
Mamaku tampak panik dan kebingungan.
“Aku
mau kesana sekarang sama yumna”
“Ngapain?”
“Mau
tau keadaan sebenarnya”
“Nggak usah! Disini repot! Jemput falad dan hamza saja
dirumah mbak sita. Mbak sita disini, mereka di rumah cuman berdua”
“Iya.. mereka sudah di
rumahku”
~~~
Ku lihat jam dinding masih
menunjukkan pukul 14.50 WIB, mataku sudah tak kuat menahan pandangan, akhirnya
ku putuskan untuk membaringkan tubuhku ke tempat tidur di ruang TV. Sepuluh
menit aku memejamkan mata. Ku lihat lagi jarum jam yang sedang menunjukkan
pukul I5.00 WIB. Dadaku terasa sesak, kepalaku pusing, perutku seperti
ditusuk-tusuk. Pertanda apa ini? Suara HP mulai terdengar lagi. Berat rasanya
aku menganggkat HP ku, telingaku tak ingin mendengar berita tentang mas ku. Namun,
menerima telfon dari papa harus aku lakukan. Apapun yang akan aku dengar dari
papa disana, aku siap mendengarkan.
“Assalamu’alaikum” papa
memulai telfonnya
“Wa’alaikumsalam”
“Qilla...”
“Iya pa..”
“Qilla yang sabar ya?
Terima kenyataan, sayang”
“Ada apa pa? Kok rame
banget? Mas Zhura gimana pa? Berhasil kan pa?”
“Qilla...”
“Iya pa... ini Qillana
Zahwardah Hamdi putri papa”
“Yang sabar ya nak?”
Aku nggak tau apa maksud papa memutus-mutus
pembicaraan. Yang aku dengar jelas adalah suara jeritan. Seperti suara mama
Neda. Tapi kenapa mama Neda menjerit ya?
“Sabar kenapa pa?”
“Mas mu”
“Berhasil kan pa?”
“Sabar ya sayang?”
“Maksud papa apa sih?
Qilla nggak ngerti! Mas Zhura kenapa??”
“Mas mu nggak ada”
“Hah?? Nggak mungkin!!!
Mas Zhura sayang sama Qilla. Dia nggak mungkin ninggalin Qilla!!”
“Sabar nak...”
Perasaanku kacau, pikiranku melayang
kemana-mana, kristal bening yang biasa nampak di mataku saat ini sudah menjadi
tsunami aceh. Semua barang di depanku ku banting, semua orang aku marahi.
Semuanya kacau berantakan. Mamaku menjerit ketika mendapat kabar dari om Safi.
Adikku berteriak-teriak memanggil-manggil nama mas Zhura. Semuanya tak
terkendali. Seorang tamu (teman
mamaku) di rumahku berusaha menenangkan
keadaan.
“Sabar nak.. ini takdir mas mu”
“Gampang ya kalau
ngomong!”
“Sudah sudah... tenang
dulu”
“Bu, tolong antarkan
Qilla ke rumah saudaranya di Jalan Medan no.9” pinta mamaku kepada temannya
itu.
“Iya... yang sabar ya
bu fima. Semoga Allah menerima Zhura di sisinya”
“Amiin bu... makasih
bu”
“Ayo Qilla..” Ajak
teman mamaku
Dengan air mata deras dan perasaan
tak karuan aku menuruti kata-kata ibu itu. Aku berlajan dan naik ke motornya.
Beliau mengantarku sampai depan rumah saudaraku. Di sana penuh suara tangisan.
Mama Sita sudah duduk menangis di kursi ruang tamu sambil membawa HP yang
dipakainya untuk menghubungi saudara-saudara yang jauh.
“Mamamu mana Qil?”
Aku hanya diam. Gelengan kepala pun tak ku berikan
sebagai jawaban. Aku menangis tanpa menghiraukan siapa dan dimanapun aku
berada.
“Assalamualaikum” salam
mamaku di depan pintu
“Waalaikumsalam”
“Mbak
sitaa.. Zhura, mbak..”
“Kapan
jenazahnya pulang?”
“Besok
jam 08.00”
Teras rumah sudah ramai
seperti pasar. Bendera kuning mulai di kibarkan di depan rumah dan di depan
gang. Aku berusaha menghubungi teman-temanku yang juga teman mas Zhura.
~~~
Jam sudah menunjukkan
pukul 7.30 WIB aku bersiap-siap dan menenangkan hati. SMS dari teman-temanku
terus masuk silih berganti sampai akhirnya aku merasa capek dan berhenti membalas SMS teman-temanku yang juga teman-teman
mas Zhura. Ku lihat jam sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB, ini adalah waktu
yang sangat menyakitkan. Aku tak bisa menahan air mataku. Aku hanya bisa diam
dan menangis.
Dari
arah barat aku lihat rombongan dari sekolah mas ku datang. Tapi, dimana
teman-teman sekolahku? Aku terus berharap teman-temanku datang, meskipun kecil kemungkinan
karena di sekolahku juga sedang ada test fisik mepel penjaskes. Saat jenazah
mas Zhura tiba, aku segera menyambutnya dengan tangisan dan tangisan.
“Maafkan aku mas, aku
menyambutmu dengan tangisan yag tak karuan. Karena hanya ini yang mampu aku
lakukan”.
Ketika aku dan orang-orang
memberangkatkan jenazah mas Zhura ke peristirahatan terkhir, aku melihat
segerombolan anak SMP memakai seragam batik dan bawahan hitam serta jilbab
berwarna cream. Itu teman-temanku. Lalu ku biarkan mereka, aku masih khusyuk
dengan kalimat Laailaahaillallah dan
tangisan yang turut mengantarkan mas ku ke rumah terakhirnya.
Sesampai
di makam, aku semakin tak kuat melihat mas Zhura yang harus di masukkan ke
dalam liang lahat yang hanya berukuran pres
dengan tubuhnya. Tapi apa yang bisa aku perbuat? Ini takdir, bukan? Semua pasti
akan mengalaminya. Setelah selesai berdo’a, aku dan orang-orang meninggalkan
makam, hanya tinggal beberapa orang yang masih berdo’a, termasuk falad dan
hamza yang juga sepupuku.
Di
rumah, para wartawan televisi dan media massa sudah berkumpul untuk
mewawancarai Om ku tentang kajadian penembakan yang mengorbankan mas ku ini.
Aku hanya melihat Om ku sangat terus terang mengatakan hal yang sebenarnya
terjadi kepada mereka. Di tengah keseriusanku memandangi para wartawan itu.
Tiba-tiba ada yang memanggilku.
“Qillana!!”
Aku menoleh ke arah datangnya suara itu
“Lani.. Teman-teman...
kalian kok bisa datang? Jam segini, sekolah kita kan belum waktunya pulang”
“Kami izin Qil, tadi
dimusholah ada penjual koran yang menyebarkan berita tentang penembakan. Pas
kami baca, ternyata itu Zhura. Kami langsung izin ke guru-guru dan bilang bahwa
korban penembakan itu adalah zahabat kami, Zhura” Jelas May
“Gimana ceritanya Qil?”
sahut cici
Air mataku semakin deras ketika semua temanku
berkumpul mengelilingi aku
“Ceritain Qil” sahut
anggik
“Yang sabar Qil, kita
semua kehilangan memang kehilangan orangnya, tapi kita nggak kehilangan
sayangnya. Pasti di sana Zhura juga berdo’a buat kita supaya kita bisa
mengikhlaskan dia. Kita sayang sama Zhura, Zhura pasti juga sayang sama kita”
Kata Febri
“Ayo critain Qil.. kami
juga perlu tau” Rere mempertegas
Tapi mulutku masih diam dan air
mataku tak berhenti mengalir justru dengan kata-kata mereka, air mataku semakin
deras. Dan akhirnya mereka berputar mengelilingi aku dan kami saling berpeukan,
berharap mendapatkan ketenangan dan dapat mengikhlaskan kepergian seorang mas
dan sahabat kami Zhurafa Senordi Angge.
Setelah kami mendapatkan ketenangan
walaupun sedikit. Aku mulai menceritakan kejadian sebenarnya.
“Ceritanya begini teman.. 4 hari
yang lalu mas Zhura duduk-duduk di teras sama mamanya yang bernama mama Neda, kemudian
Glenn datang dan mereka bertiga bercanda-canda. Tapi dari sekian banyak candaan
mereka ada 1 kata yang membuat Glenn tidak suka. Lalu tiba-tiba Glenn memegang
leher mas Zhura dan bilang ke mama Neda, dia bilang seperti ini :
“ Ma, anak ini enaknya dibunuh aja
ya”.
Kemudian mama Neda menjawab
“Jangan, nanti kamu masuk penjara
loh Glenn”.
“hahahaha” Glenn tertawa, dan
dengan kepolosannya mas Zhura juga ikut tertawa.
Keesokan harinya mereka berdua dan
2 orang temannya, Oktaf dan Ferdo berencana untuk berburu di hutan dekat rumah.
Saat Glenn mulai melepaskan peluru senapan angin, 3 burung pipit didapatkannya.
Oktaf sedang menyiapkan kayu bakar, Ferdo dan mas Zhura mencabuti bulu-bulu
burung pipit itu. Tapi nggak tau kenapa, ternyata candaannya kemarin ketika
bersama mama Neda dan mas Zhura bukan sekedar candaan, tapi itu adalah dendam
yang tak nampak, Glenn melepaskan peluru senapan anginnya ke pelipis mas Zhura.
Dan akhirnya mas Zhura kejang-kejang, tak sadarkan diri, dan seperti saat ini.
Begitulah ceritanya”
“Lalu,
Si Glenn dihukum berapa tahun?” sahut rere
“Aku kurang tau re..”
Air mataku kembali
mengalir. Satu per satu dari kami pun menceritakan pengalaman kami
masing-masing ketika bersama mas Zhura.
Mas Zhura adalah teman yang istimewa, friendly , ramah, murah senyum, baik,
dermawan. Jika aku marah, aku selalu ingat dengan kerendahan hati dan kesabaran
mas Zhura untuk menahan emosinya. Inilah ceritanya mengapa aku selalu teringat
mas Zhura jika melihat sepotong bendera kuning yang berkibar. Dari
perbuatannya, ia selalu memberi ku pelajaran yang berharga dan kenangan
bersamanya tak akan ku lupakan hingga aku menyusulnya ke sana.