Jumat, 07 November 2014

Kenangan Bendera Kuning



20 April 2013, aku melihat sebuah bendera berwarna kuning di depan gang nomor 2 di dusunku. Bendera itu mengingatkan aku kepada laki-laki hitam manis seusiaku. Ia adalah sepupuku. Rasa sayangku kepadanya tak bisa dipisahkan meski secara kenyataan ajal telah memisahkan kami.
Pukul 02.30 Sore, waktu yang tak terduga dan penuh rasa tak terima bagiku dan keluarga besarku. Kak Zhura, laki-laki hitam manis seusiaku ini adalah sepupu tersayangku. Dari kami kecil hingga remaja, wherever we go, always together .
Tanggal itu dan setelahnya merupakan cobaan terberat bagi keluargaku dan perderitaan terakhir sepupuku. Rasa tak percaya selalu menyelimuti hari-hariku di sekolah. Hanya diam, diam, dan diam yang bisa ku lakukan. Berangkat sekolah hampir bertabrakan dengan motor di depanku, datang ke sekolah terlambat, cerita temanku tak ku dengar, penjelasan guru tak ku perhatikan, semua pikiranku hanya tertuju pada sepupuku, Zhura. Aku dan Zhura bagaikan es dan suhunya. Dimana ada es, disitu ada dingin. Meskipun sebenarnya kodrat kami berbeda, namun dari semua barang yang kami miliki hanya sedikit yang berbeda. Kami sudah seperti anak kembar. Kemana-mana memakai pakaian dan membawa barang yang sama.
Tanggal 12 Juli 2011 tanggal 02.00 aku pulang dari sekolah, badanku terasa lemas tak berdaya. Segera kuletakkan sepeda anginku dan masuk ke dalam kamar, ganti baju,  kemudian tidur. Ibu menghampiriku di ranjang, beliau ikut tidur bersamaku. Kulihat jam dindingku menunjukkan pukul 02.55 Sore, mataku masih terasa berat untuk dibuka. Tiba-tiba HP ku berdering.
Kriiing...... Kriiiinggg...
Bunyi suara Hp-ku yang menandakan adanya panggilan masuk, ternyata dari Om Safi, ku terima panggilan itu.
“Halo, Assalamu’alaikum”
“Halo, Wa’alaikumsalam.. Mamamu mana?!!”
Suara di seberang terkesan panik, spontan aku memberikan HP kepada mamaku.
 “Iya.. ada apa?” Tanya mamaku kepada orang di seberang.
“Mbak!, Zhura, mbak!”
“Kenapa zhura?” tanya mamaku kaget, dan aku pun langsung menatap mamaku.
“Zhura.. ditembak”
Aku kaget namun masih tenang, karena aku tidak tau bagian mana yang tertembak.
“Apanya yang ditembak?” Lanjut mamaku
“Pelipis kiri di kepalanya”
“Siapa yang menembak??!! Kurang ajar sekali dia!”
Tiba-tiba telfon seberang ditutup. Telingaku terasa pecah ketika mendengar suara bagaikan petir yang menyambar seisi bumi seperti itu, jantung ku berdegup kencang, fikiranku terbang melayang tak berarah, bayangan negatif menyumbat sel-sel otakku, air mataku berlinang dan hampir menetes, seakan-akan aku yang merasakan perkara itu. Tak henti-hentinya aku berdo’a supaya Zhura diberi kekuatan oleh Tuhan, ibuku sibuk menelfon semua saudara, terutama pamanku, om Safi. Beberapa menit kemudian HP berdering kembali dan segera diterima oleh ibuku.
“Puskesmas nggak sanggup menangani Zhura! Sekarang ada di UGD RSUD. Kata dokter, operasi akan dilaksanakan nanti jam 9 malam. Mas Doni suruh kemari! Cepat!”.
“Mas Doni sudah berangkat, sekarang masih diperjalanan”. Ucap ibuku
~ ~ ~
Adzan maghrib telah berkumandang. Segera aku berwudhu dan mengikuti sholat jama’ah di musholah. Ketika wirid, saudara ku memutuskan kekhusyukanku dan bertanya tentang keadaan Zhura. Ku bilang dia sedang kritis di RSUD.  Wajah sedihnya nampak jelas di hadapanku, mungkin ia juga merasakan dag dig dugnya hatiku. Setelah sholat selesai, aku pulang dan segera masuk ke kamar. Kamarku terasa hening, sunyi, sepi, tak ada yang indah, semuanya nampak seperti TV jadul, hitam putih, hingga akhirnya ku ambil al-qur’an dan melantunkannya untuk kesembuhan saudaraku, Zhura. Di tengah-tengah bacaan ayat-ayat suciku, tiba-tiba HP berdering, ku hentikan suaraku dan beralih ke Handphoneku.
“Om dika”
“Iya.. Mana mamamu?”
“Sebentar om..”
Aku berlari menuju kamar mama, dengan keadaan memakai mukenah.
“Ma... Om dika telfon”
Tanpa melihatku, mama langsung mengambil HP dari genggamanku.
“Iya.. Bagaimana keadaan Zhura?”
“Semakin kritis, Tangan dan kakinya diikat supaya tidak kejang-kejang. Otaknya sudah parah mbak. Tak ada 30%, kemungkinan operasi bisa menyelamatkannya.”
“Astaghfirullah... Tapi jadi dilakukan kan?”
“Pasti jadi, mohon do’anya yang banyak mbak. Kasihan mbak neda, cuman bisa nangis..”
“Qila juga nangis terus dik, dari tadi nggak lepas mukenah, nggak mau keluar kamar, baca al-qur’an sambil nangis. Sekarang siapa saja yang di Rumah Sakit?”
“Mbak Neda, Aku, Mas Safi, Mbak Jahra, Falad, Oktaf, Mas Doni, Mas Ruli, dan tetangga-tetangga ada yang ikut mbak..” kata om ku.
            Sengaja aku mendengar suara telfon yang di perkeras suaranya itu. Di balik pintu kamar ibuku, perlahan ku teteskan air mata beningku. Aku tak kuat mendengar semuanya. Dia saudaraku, kemana-mana bersama, sekolah bersama, model baju sama, hampir semuanya sama. Tapi sekarang, hidupnya terancam. Dokter memvonis kemungkinan hidupnya hanya 30%. Tanpa mengusap air mata, aku berlari dan masuk ke kamarku. Ku lafadzkan istighotsah dan ayat-ayat suci yang ku bisa. Ku memohon kepada Tuhan supaya membebaskan kakakku dari penderitaannya.
“Ya Allah, jika Engkau masih mengizinkan nafasnya berhembus, berikan ia kekuatan untuk memerangi rasa sakitnya, jangan biarkan ia kesakitan sendiri. Jika Engkau masih memberi usia untuknya, bangunkan ia untuk beribadah kepadaMu dan izinkanlah ia bersujud diatas sajadah suciMu. Hamba belum sanggup menerima ini, hamba masih butuh dia, hanya dia satu-satunya saudara yang mengerti hamba, Engkau yang mengizinkan kami selalu bersama, Engkau yang mentakdirkan kami bersaudara. Gelap terang luas sempit kami lalui bersama, bahagia dan sedih kami hadapi berdua. Ya Allah, jikalau takdirMu tak sesuai hati hamba, berikan hamba kekuatan untuk menerima dan mengikhlaskannya kembali kepadaMu”
            Jarum jam sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB, dag dig dug hatiku sudah menunggu saat-saat menenganggkan. Tak henti-hentinya bibirku beristighfar, berharap Tuhan dapat mengampuni semua dosa-dosaku dan keluargaku dan melancarkan operasi yang 1 jam lagi akan dilakukan. Rupanya syaraf kakakku belum bisa tenang, tubuhnya yang diikat kain tak berhenti merasakan kesakitan dan kejang-kejang. Hatiku semakin berdegup kencang.
Teng Teng Teng. . .  . . . .
Alarmku berbunyi, cepat-cepat aku melihat ke arah jam dinding.
“Jam 21.00 !!! “ teriakku di dalam kamar
Kriiiiinggg..... Kriiiingg....
Seketika itu HP yang sejak tadi terletak di atas meja belajarku berdering, dan aku mengambilnya Ku baca layarnya.
“Om dika ~`Flexi”
Spontan aku berlari ke kamar mamaku, tapi apa yang aku lihat? Kamarnya kosong, tanpa pikir panjang aku berlari ke dapur, tapi tak ada orang.
“Kemana mama?”
Dengan perasaan takut dengan berita yang akan aku dengar dari Om Dika, ku beranikan diri dan ku mantapkan hatiku untuk mengangkat telfon dari Om Dika. Perlahan, ku pencet tombol terima telfon.
“Iya Om...”
“Ini mama. Do’akan kakakmu. Dia kejang-kejang. Sekarang dibawa ke ruang operasi”
“Ma... ma... mama kapan ke sana? Kenapa Qila nggak diajak?”
“Mama tahu perasaanmu. Di sini juga tegang, kalau mama ngajak kamu, bisa-bisa nanti kamu pingsan. Jangan lupa, masak mie buat adikmu. dia belum makan”
“I...iya.. ma...”
Setelah telfon ditutup, kakiku melangkah menuju dapur kemudian memasak mie kuah untuk adikku. Ku hidangkan mie dengan telur kocok, aromanya yang harum bisa sedikit menenangkan hatiku. Istighfar masih belum berhenti dari bibirku. Ku biarkan semangkuk mie itu tergeletak di atas meja makan dan aku pergi ke kamar.
Di kamar, ku baringkan tubuh mungilku diatas tempat tidur. Ku pandangi fotoku bersama Zhura. Ku pegang erat sepasang liontin berbentuk ikan dari Zhura. Bibirku terus mengucapkan do’a-do’a.
~ ~ ~
Teng... Teng.... Teengg...
Ku lihat jam dindingku dengan wajah kusam dan masih mengantuk.
“Hah!! Jam 06.15!!!!”
Refleks, aku meloncat dari tempat tidur dan membanting pintu kamarku. Aku bergegas masuk kamar mandi. Setelah mandi dan mengganti baju dengan seragam sekolah, tanpa sarapan aku mengeluarkan sepeda anginku dari garasi kemudian mengunci semua rumah dan melajukannya dengan kecepatan tinggi, aksiku memang bisa dibilang kisruh, tapi mau bagaimana lagi? Ini sudah jam 06.45 WIB, 15 menit lagi gerbang sekolah sudah dikunci.
Ternyata pelajaran agama islam belum dimulai. Lega rasanya ketika sudah masuk kelas sebelum guru datang. Ku lihat wajah teman-temanku nampak tegang dan gelisah.
“Ada apa Lan? Kok tegang gitu?”
“Sekarang waktunya praktek sholat dhuha”
“Praktek aja kan? Tapi kok tegang?”
“Prakteknya di musholah”
“Yaiyalah, namanya juga praktek sholat. Pasti dimusholah”.
“Masalahnya, kelas kita digabung sama kelas VIII – 6!”
“Terus?”
“Kita sama kelas VIII-6 kan nggak pernah akur! Qillaaaaaa!!” Lani jengkel dan berteriak tepat ditelingaku.
“Hahahahaha... biasa dong Lan!” Aku tertawa melihat wajah jengkel Lani.
“Nggak bisa!”
“Jalani aja.. nurut aja sama guru”
“Ceramah aja bisanya!” sahut Zammu, cowok favorit dikelasku.
“Mulut mulut gue! Masalah buat lo?”
“Iya!”
“Apa masalahnya?!”
“Masalahnya gue nggak suka denger lo ceramah!”
“Kalau nggak suka ya jangan didengerin!”
“Tapi kedengeran, bego’!”
“Emang lo pinter? Ngatain gue bego’?!”
“Iya.. Emang gue pinter”
“Udaaah... Udaaaahh... Jangan berantem! Kayak anak TeKa aja kalian! Pergi sana Zam!” Lerai Lani dengan sedikit senyum kepada Zammu.
“Hiddiiiih.. Pergi sana Zam?.. Sok manis lo, Lan! Bocah kayak begini nggak pantas dimanis-manisin!” Aku pergi meninggalkan kelas. Wajahku semakin geram dan jengkel dengan sikap Lani yang sok manis kepada Zammu.
            Untuk menenangkan hati yang sempat terbakar karena ulah Zammu dan Lani, ku putuskan untuk pergi ke kantin. Suasana yang sepi dan teduh membuatku lebih tenang. Ku lihat jalan lurus berkeramik yang mengarah ke kelasku, nampaknya pak Andi sudah masuk kelas. Tapi aku masih ingin disini. Tak lama kemudian, pak Andi dan teman-temanku keluar dari kelas, disambung dengan anak kelas VIII-6.
“Wah kayak nya bakalan seru nih!” kataku pelan
Sejak kelas VII kelasku dengan kelas VIII-6 memang tak pernah akur. Hal itu disebabkan karena banyaknya teman-temanku yang punya mantan pacar di kelas VIII-6. Sepele banget kan?. Aku segera berdiri dan berlari menuju musholah. Ternyata bukan aku yang datang paling awal. Ada Ceval anak kelas VIII-6. Manusia paling menyebalkan nomor 2 setelah Zammu. Di musholah hanya ada 2 anak, Aku dan Ceval. Kami saling diam tak menyapa. Pada saat itu juga teman-teman kami datang.
“Kamu bawa buku apa Lan?” tanya ku kepada lani
“Buku tuntunan sholat, buku tulis, sama LKS PAI”
owalah...
Dengan wajah heran sambil melihat tangan dan sisi kanan kiriku, Lani  bertanya.
Lha bukumu mana Qil?”
“hmm... Aku kesini nggak bawa apa-apa karena tadi aku habis dari kantin” ku tampakkan wajahku yang seperti manusia tak berdosa.
“Gimana sih? Sekarang penilaian LKS loh Qil!!”
“iyakah? Aku nggak bawa Lan. LKSku di rumah. Gimana dong?”
“Pulang sana.. Ambil cepetan!”
“Nggak pa pa kah?”
“Izin pak Andi, terus ke BK, terus ke Bang Seno”
“Anterin.. J
hadeeeeeh...... Yok!”
            Aku dan Lani bergegas meminta izin ke para dewan bagian perizinan dan pulang mengambil LKS PAI ku. Sesampai dirumah, ternyata mama sudah lebih dulu di rumah. Mamaku sedang masak.
                        “Assalamu’alaikum”
            “Wa’alaikumsalam. Kok udah pulang?”
“Ngambil LKS. Gimana mas Zhura?”
“Peluru di kepalanya pecah menjadi 3”
“Kok bisa? Terus?”
“Baru 1 yang bisa diambil, rencana mau dirujuk ke Singapura”
“Kapan?”
“Ndak tau”
“Papa mana?”
“Papa masih disana, nggak mau pulang”
“Qilla mau kesana maaaaa.....” aku merengek, kristal di kelopak mataku mulai nampak
“Ndak boleh dokter”
“Kok bisa?”
“Yang jaga maksimal 5 orang. Penjenguk ndak boleh dekat-dekat dengan kamar”
“emmm... L
Setelah selesai, aku keluar rumah dengan wajah murung.
“Kenapa Qil?”
“Mas Zhura, Lan...”
“Zhurafa Senordi Angge alumni SD Yomana 80 itu?”
“Iya”
“Dia mas mu?”
“Iya..”
“Kenapa dia?”
“Ceritanya panjang”
“Ntar di sekolah ceritain ya Qil?”
“Sip... Yok cabut!”
Aku dan Lani segera mengeyuh sepeda bermerek Wimcycle itu dengan sekuat tenaga dan sekencang-kencangnya. Sesampai di sekolah, ku lihat jam tanganku, 25 menit lagi jam pelajaran PAI akan usai. Lagi-lagi aku dan Lani harus berlari dari tempat parkir ke musholah. Ketika samapai kami langsung disuruh praktek sholat dhuha, alhamdulillah aku bisa karena aku sering melakukannya di rumah.
~~~
Tilulit... Tilulit... Tilulit....
Bel listrik sekolah sudah berbunyi menandakan kegiatan  belajar mengajar di sekolah telah usai. Aku segera pulang dengan sepeda kayuhku itu. Saat tiba di rumah ku lihat adik-adikku sedang asyik menonton televisi sambil makan snack. Aku segera masuk kamar dan mengganti seragamku dengan baju rumah.
     “Kak Qilla...!!” teriak adikku
“Apa dekk???”
“Sini cepetan”
“Ngapain sih?”
“Ini loh. Uleg-in sambelku”
haddeeewww... kirain ngapain”
“Uleg sendiri!”
“Nggak bisa!”
“Belajar!” teriakku
Aku langsung masuk kamar dan mencari novel favoritku. Tiba-tiba Hp-ku berdering. Tanpa pikir panjang dan membaca nama pemanggil aku langsung memencet tombol terima telfon.
“Mbak Fima... Zhura nggak jadi dibawa ke Singapura”
“Hah?” ku lihat nama pemanggil. Ternyata Om Safi.
Langsung saja aku berlari mencari mama
                        “Iya.. ada apa?” tanya mamaku
                        “Zhura nggak jadi ke singapura”
                        “Kenapa? Bukannya lebih baik”
                        “Dia semakin drop”
Mamaku tampak panik dan kebingungan.
                        “Aku mau kesana sekarang sama yumna”
                        “Ngapain?”
                        “Mau tau keadaan sebenarnya”
            “Nggak usah! Disini repot! Jemput falad dan hamza saja dirumah mbak sita. Mbak sita disini, mereka di rumah cuman berdua”
“Iya.. mereka sudah di rumahku”
~~~
Ku lihat jam dinding masih menunjukkan pukul 14.50 WIB, mataku sudah tak kuat menahan pandangan, akhirnya ku putuskan untuk membaringkan tubuhku ke tempat tidur di ruang TV. Sepuluh menit aku memejamkan mata. Ku lihat lagi jarum jam yang sedang menunjukkan pukul I5.00 WIB. Dadaku terasa sesak, kepalaku pusing, perutku seperti ditusuk-tusuk. Pertanda apa ini? Suara HP mulai terdengar lagi. Berat rasanya aku menganggkat HP ku, telingaku tak ingin mendengar berita tentang mas ku. Namun, menerima telfon dari papa harus aku lakukan. Apapun yang akan aku dengar dari papa disana, aku siap mendengarkan.
“Assalamu’alaikum” papa memulai telfonnya
“Wa’alaikumsalam”
“Qilla...”
“Iya pa..”
“Qilla yang sabar ya? Terima kenyataan, sayang”
“Ada apa pa? Kok rame banget? Mas Zhura gimana pa? Berhasil kan pa?”
“Qilla...”
“Iya pa... ini Qillana Zahwardah Hamdi putri papa”
“Yang sabar ya nak?”
Aku nggak tau apa maksud papa memutus-mutus pembicaraan. Yang aku dengar jelas adalah suara jeritan. Seperti suara mama Neda. Tapi kenapa mama Neda menjerit ya?
“Sabar kenapa pa?”
“Mas mu”
“Berhasil kan pa?”
“Sabar ya sayang?”
“Maksud papa apa sih? Qilla nggak ngerti! Mas Zhura kenapa??”
“Mas mu nggak ada”
“Hah?? Nggak mungkin!!! Mas Zhura sayang sama Qilla. Dia nggak mungkin ninggalin Qilla!!”
“Sabar nak...”
Perasaanku kacau, pikiranku melayang kemana-mana, kristal bening yang biasa nampak di mataku saat ini sudah menjadi tsunami aceh. Semua barang di depanku ku banting, semua orang aku marahi. Semuanya kacau berantakan. Mamaku menjerit ketika mendapat kabar dari om Safi. Adikku berteriak-teriak memanggil-manggil nama mas Zhura. Semuanya tak terkendali.  Seorang tamu (teman mamaku)  di rumahku berusaha menenangkan keadaan.
     “Sabar nak.. ini takdir mas mu”
“Gampang ya kalau ngomong!”
“Sudah sudah... tenang dulu”
“Bu, tolong antarkan Qilla ke rumah saudaranya di Jalan Medan no.9” pinta mamaku kepada temannya itu.
“Iya... yang sabar ya bu fima. Semoga Allah menerima Zhura di sisinya”
“Amiin bu... makasih bu”
“Ayo Qilla..” Ajak teman mamaku
Dengan air mata deras dan perasaan tak karuan aku menuruti kata-kata ibu itu. Aku berlajan dan naik ke motornya. Beliau mengantarku sampai depan rumah saudaraku. Di sana penuh suara tangisan. Mama Sita sudah duduk menangis di kursi ruang tamu sambil membawa HP yang dipakainya untuk menghubungi saudara-saudara yang jauh.
“Mamamu mana Qil?”
Aku hanya diam. Gelengan kepala pun tak ku berikan sebagai jawaban. Aku menangis tanpa menghiraukan siapa dan dimanapun aku berada.
“Assalamualaikum” salam mamaku di depan pintu
“Waalaikumsalam”
“Mbak sitaa.. Zhura, mbak..”                
“Kapan jenazahnya pulang?”
“Besok jam 08.00”
Teras rumah sudah ramai seperti pasar. Bendera kuning mulai di kibarkan di depan rumah dan di depan gang. Aku berusaha menghubungi teman-temanku yang juga teman mas Zhura.
~~~
Jam sudah menunjukkan pukul 7.30 WIB aku bersiap-siap dan menenangkan hati. SMS dari teman-temanku terus masuk silih berganti sampai akhirnya aku merasa capek dan berhenti membalas SMS teman-temanku yang juga teman-teman mas Zhura. Ku lihat jam sudah menunjukkan pukul 08.00 WIB, ini adalah waktu yang sangat menyakitkan. Aku tak bisa menahan air mataku. Aku hanya bisa diam dan menangis.
            Dari arah barat aku lihat rombongan dari sekolah mas ku datang. Tapi, dimana teman-teman sekolahku? Aku terus berharap teman-temanku datang, meskipun kecil kemungkinan karena di sekolahku juga sedang ada test fisik mepel penjaskes. Saat jenazah mas Zhura tiba, aku segera menyambutnya dengan tangisan dan tangisan.
“Maafkan aku mas, aku menyambutmu dengan tangisan yag tak karuan. Karena hanya ini yang mampu aku lakukan”.
Ketika aku dan orang-orang memberangkatkan jenazah mas Zhura ke peristirahatan terkhir, aku melihat segerombolan anak SMP memakai seragam batik dan bawahan hitam serta jilbab berwarna cream. Itu teman-temanku. Lalu ku biarkan mereka, aku masih khusyuk dengan kalimat Laailaahaillallah dan tangisan yang turut mengantarkan mas ku ke rumah terakhirnya.
            Sesampai di makam, aku semakin tak kuat melihat mas Zhura yang harus di masukkan ke dalam liang lahat yang hanya berukuran pres dengan tubuhnya. Tapi apa yang bisa aku perbuat? Ini takdir, bukan? Semua pasti akan mengalaminya. Setelah selesai berdo’a, aku dan orang-orang meninggalkan makam, hanya tinggal beberapa orang yang masih berdo’a, termasuk falad dan hamza yang juga sepupuku.
            Di rumah, para wartawan televisi dan media massa sudah berkumpul untuk mewawancarai Om ku tentang kajadian penembakan yang mengorbankan mas ku ini. Aku hanya melihat Om ku sangat terus terang mengatakan hal yang sebenarnya terjadi kepada mereka. Di tengah keseriusanku memandangi para wartawan itu. Tiba-tiba ada yang memanggilku.
     “Qillana!!”
Aku menoleh ke arah datangnya suara itu
“Lani.. Teman-teman... kalian kok bisa datang? Jam segini, sekolah kita kan belum waktunya pulang”
“Kami izin Qil, tadi dimusholah ada penjual koran yang menyebarkan berita tentang penembakan. Pas kami baca, ternyata itu Zhura. Kami langsung izin ke guru-guru dan bilang bahwa korban penembakan itu adalah zahabat kami, Zhura” Jelas May
“Gimana ceritanya Qil?” sahut cici
Air mataku semakin deras ketika semua temanku berkumpul mengelilingi aku
“Ceritain Qil” sahut anggik
“Yang sabar Qil, kita semua kehilangan memang kehilangan orangnya, tapi kita nggak kehilangan sayangnya. Pasti di sana Zhura juga berdo’a buat kita supaya kita bisa mengikhlaskan dia. Kita sayang sama Zhura, Zhura pasti juga sayang sama kita” Kata Febri
“Ayo critain Qil.. kami juga perlu tau” Rere mempertegas
Tapi mulutku masih diam dan air mataku tak berhenti mengalir justru dengan kata-kata mereka, air mataku semakin deras. Dan akhirnya mereka berputar mengelilingi aku dan kami saling berpeukan, berharap mendapatkan ketenangan dan dapat mengikhlaskan kepergian seorang mas dan sahabat kami Zhurafa Senordi Angge.
Setelah kami mendapatkan ketenangan walaupun sedikit. Aku mulai menceritakan kejadian sebenarnya.
“Ceritanya begini teman.. 4 hari yang lalu mas Zhura duduk-duduk di teras sama mamanya yang bernama mama Neda, kemudian Glenn datang dan mereka bertiga bercanda-canda. Tapi dari sekian banyak candaan mereka ada 1 kata yang membuat Glenn tidak suka. Lalu tiba-tiba Glenn memegang leher mas Zhura dan bilang ke mama Neda, dia bilang seperti ini :
“ Ma, anak ini enaknya dibunuh aja ya”.
Kemudian mama Neda menjawab
“Jangan, nanti kamu masuk penjara loh Glenn”.
“hahahaha” Glenn tertawa, dan dengan kepolosannya mas Zhura juga ikut tertawa.
Keesokan harinya mereka berdua dan 2 orang temannya, Oktaf dan Ferdo berencana untuk berburu di hutan dekat rumah. Saat Glenn mulai melepaskan peluru senapan angin, 3 burung pipit didapatkannya. Oktaf sedang menyiapkan kayu bakar, Ferdo dan mas Zhura mencabuti bulu-bulu burung pipit itu. Tapi nggak tau kenapa, ternyata candaannya kemarin ketika bersama mama Neda dan mas Zhura bukan sekedar candaan, tapi itu adalah dendam yang tak nampak, Glenn melepaskan peluru senapan anginnya ke pelipis mas Zhura. Dan akhirnya mas Zhura kejang-kejang, tak sadarkan diri, dan seperti saat ini. Begitulah ceritanya”
            “Lalu, Si Glenn dihukum berapa tahun?” sahut rere
“Aku kurang tau re..”
Air mataku kembali mengalir. Satu per satu dari kami pun menceritakan pengalaman kami masing-masing ketika bersama  mas Zhura. Mas Zhura adalah teman yang istimewa,  friendly , ramah, murah senyum, baik, dermawan. Jika aku marah, aku selalu ingat dengan kerendahan hati dan kesabaran mas Zhura untuk menahan emosinya. Inilah ceritanya mengapa aku selalu teringat mas Zhura jika melihat sepotong bendera kuning yang berkibar. Dari perbuatannya, ia selalu memberi ku pelajaran yang berharga dan kenangan bersamanya tak akan ku lupakan hingga aku menyusulnya ke sana.